Bangun pagi-pagi langsung disambut oleh musik dangdut dari rumah depan. Wadooh keras banget lagi suaranya, dah gitu yang mutar ngga peduli dengan sekitarnya apakah, tetangga depan, samping menikmati juga musiknya atau tidak. Gue sih ngga anti musik dangdut tetapi kalau diputar sekeras ini yah lumayan berisik juga. Gue coba tengok tuh rumah depan, pintunya terbuka lebar dan sang bapak duduk di sofa benar-benar menikmati musik dangdut ditemani teh. Kayaknya ini bukan penyanyi aslinya nih yang nyanyi tetapi rekaman konser. Lha penyanyinya sambil teriak “hayuk maang” terus mang”, "goyang mang". Halah gw sampe hapal bagian itu nya doang.
Situasi ini membuat gue jadi punya ide menulis tentang kehidupan Jakarta. Beberapa hari ini saya merasakan betapa hidup di Jakarta terasa berat. Berada di jalanan di tengah hujan deras, macet total dimana-mana stuck ngga bisa jalan di tengah jalan besar. Saya sempat menjadikan situasi ini menjadi status Facebook dan beberapa comment yang masuk menyampaikan pengalaman yang sama.
Gue cerita mulai dari lingkungan tempat tinggal gue yah. Gue neh tinggal di daerah yang lumayan padat, walaupun dekat jalan protokol tetapi masuknya melalui gang kecil kira-kira 50 meter dari jalan besar. Masih ada tanah lapang dekat rumah tempat main anak-anak kecil jadi kadang-kadang kayak di kampung. Cerita di atas mengenai musik dangdut tadi yah merupakan dinamika yang kualami karena jarak dari satu rumah satu kerumah lain dekat. Belum lagi kalau di sebelahnya dangdut maka rumah sebelahnya lagu indonesia tahun 70-an, kloplah tinggal putar frekwensi telinga mau dangdut atau tembang kenangan hehehe. Kalau sudah begini yah mending nonton tv dah.
Pagi-pagi ke kantor mesti tepat waktu maksud gw jangan terlambat dari jadwal biasanya karena kalau terlambat sedikit saja jalanan sudah macet banget, padahal perbedaannya hanya 5 menit saja tetapi bedanya jauh banget. Beberapa hari terakhir ini mulai hujan coba perhatikan hujan dikit aja tetapi lalu lintas dah kacau banget, jalanan tergenang air, macet dimana-mana dan yang gue rasa paling parah yah hari jumat kemarin, bisa-bisanya gue stuck di tengah lampu merah karena mobil dari arah berlawanan ketemu dan tidak ada yang mengalah jadinya daripada satu mobil lewat mending semuanya ngga lewat. Situasi ini persis sama dengan anekdot tentang kepiting Amerika, kepiting China dan Kepiting Indonesia. Kepiting Amerika kalau berada di kotak penyimpanan akan berusaha memanjat sekuat tenaga untuk bisa keluar, kepiting China berusaha membentuk formasi tumpuk sehingga salah satu kepiting bisa berada di bagian paling atas dan keluar. Ketika dia keluar kepiting tersebut kemudian membantu kepiting lain untuk keluar begitu seterusnya sampai semua keluar. Bagaimana dengan kepiting Indonesia? Kepiting Indonesia ketika salah satu kepiting berusaha memanjat lalu ketika sudah dekat ujung kepiting dibawahnya menarik kembali dan karena ada tarik menarik akibatnya yah kepiting diatasnya kakinya lepas begitu seterusnya kepiting yang cacat tadi juga menarik kepting lain. Prinsip kepiting Indonesia kalaogue ngga bisa loe juga kudu ngga bisa so kita benasib sama.
Inilah yang gue bayangin ketika ada di perempatan Tambak selama hampir 1 jam. Sistemnya sudah ada kog yaitu lampu lalu lintas ada disitu tetapi banyak orang menjadi tidak sabaran lalu menerobos lampu merah dan orang-orang dibelakangnya mengikuti sehingga pada suatu saat akan menupuk karena pengendara dari arah lain punya prinsip yang sama. Pernah ngga anda berada di lampu merah dan ketika lampu hijau belum nyala klakson dari belakang sudah bersahutan tujuannya supaya orang yang paling depan jalan. Gue beberap kali merasakan hal ini jadinya kadang dipaksa seperti ini yah melanggar juga, gila pekak telinga gw dengar klakson. Nah dari taat lalu lintas kemudian berubah menjadi melanggar dan hal ini sering terjadi akhirnya yah jadi kebiasaan. Kalo gw yah masih bisa bertahan lah.
Itu sekelumit cerita Jakarta tar disambung lagi
Jakarta, 15 November 2009
No comments:
Post a Comment